Propellerads

From : NGNL

"Hidup bukanlah permainan keberuntungan. Jika kau ingin menang, kau harus bekerja keras."

From : Zetsuen no Tempest

"Hanya karena tidak masuk akal bukan berarti itu salah"

Hikigaya Hachiman - Oregairu

"Kerja keras tak akan mengkhianatimu, meskipun saat ini, itu akan mengkhianati mimpimu."

Propellerads

Senin, 30 Oktober 2017

Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi

     Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 mengahadapi beberapa kendala cukup berat. selain itu, pada kurun waktu tersebut pemerintah berusaha membangun sistem ekonomi baru untuk mencapau stabilisasi ekonomi. upaya pemerintah memperbaiki kondisi ekonomi padda masa Demokrasi Liberal sebagai berikut  
  • Gerakan Benteng
  Kebijaksanaan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu kebikjakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat tahun 1950-an atau pada saat era kabinat Natsir oleh Soemitri Djojohadikusumo (menteri perdagangan), dimana kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini bertujuan membantu para pengusaha-pengusaha muda untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha pribumi.
    Sistem Ekonomi Gerakan Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dengan menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
    Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
    Kedua, implementasi pokok dari program benteng yang kelihatan adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
Karena masalah keterbatasan anggaran dana dan juga keterbatasan wawasan pengusaha pribumi yang melekat pada Program Benteng tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif. Pemerintah mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Pada masa itu, sulit bagi pengusaha atau pedagang baru yang belum manjadi anggota Benteng Group untuk mencatat diri sebagai anggotanya. Pemerintah berniat agar pengusaha-pengusaha baru dapat tersebar di seluruh Indonesia. Politik ini bukan saja mengenai importer, bahkan perusahaan dan dunia perdagangan harus tersebar di seluruh Indonesia.
    Akibat penyaringan ini jumlah importer yang terdaftar berhasil dikurangi dari 4.300 orang menjadi kurang lebih 2.000. Akan tetapi situasi politik dalam negeri setelah pertengahan 1950-an, khususnya setelah pecah pergolakan di daerah, mengalihkan perhatian pemerintah kepada bahaya perpecahan bangsa. Penyelundupan komoditas ekspor dari daerah-daerah luar Jawa mengakibatkan pasokan devisa bagi pemenrintah Indonesia banyak berkurang, sehingga mengurangi pula dana untuk menunjang Program Benteng.
     Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
  • Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
  • Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
  • Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
  • Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
  • Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
  • Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
     Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
  • Gunting Syafruddin
 
    Gunting Syafruddin itu adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, saat menjabat sebagai Menteri Keuangan pada masa Kabinet Hatta II. Kebijakan Gunting Syafruddin merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian Indonesia sekitar tahun 1950 akibat agresi militer pada 1947 dan 1949, yang mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi berat.
    Untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar 5,1 miliar rupiah, Menteri Keuangan saat itu Syafruddin Prawiranegara, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU I, melakukan tindakan pemotongan uang. Kebijakan ini merupakan kebijakan mata uang pertama kali di Indonesia, sekaligus kebijakan yang membuat banyak pihak terkejut kala itu. Kebijakan gunting Syafruddin ini berlaku sejak pukul 20.00 WIB tanggal 10 Maret 1950.
    Kebijakan ekonomi Gunting Syafruddin tidak hanya memangkas setengah dari nilai mata uangnya, tetapi juga dengan cara memotong fisik uang kertas tersebut menjadi dua bagian. Gunting Syafruddin diterapkan untuk menggunting mata uang NICA dan mata uang de Javasche Bank pecahan 5 gulden ke atas. Nah, untuk guntingan yang sebelah kiri, masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Misal sewaktu membeli sayuran, kita membayarnya dengan uang guntingan sebelah kiri. Sedangkan yang sebelah kanan, ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula. Jika nilai uangnya 5 gulden, maka yang ditukar sebesar 2,5 gulden. Setelah itu, nantinya akan dibayar tiga puluh tahun kemudian oleh negara, dengan bunga tiga persen setahun.
    Gunting Syafruddin ialah salah satu Sanering yaitu pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Hal ini berbeda dengan Redenominasi. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol". 
     Dalam rangka menciptakan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal, Bank Indonesia melakukan redenominasi. Redenominasi rupiah menentukan salah satu kewenangan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga keselarasan sistem pembayaran di Indonesia. Berikut ini alasan redenominasi rupiah.

  1. Uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini adalah Rp100.000 yang merupakan pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang pernah mencetak 500.000 dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe yang pernah mencetak 100 triliun dolar Zimbabwe dalam 1 lembar mata uang.
  2. Munculnya keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah dibandingkan mata uang lainnya, misalnya terhadap dolar, euro, dan uang global lainnya, bukan dalam hal substansi, melainkan identitas karena kekuatan mata uang Indonesia relatif stabil, cadangan devisa juga aman, inflasi terjaga (1 digit), investasi juga tidak ada persoalan, kinerja ekonomi Indonesia baik.
  3. Pecahan uang Indonesia yang selalu besar akan menimbulkan ketidakefisienan dan ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang banyak untuk mencatat, menghitung dan membawa uang untuk melakukan transaksi sehingga terjadi ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi.
  4. Untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan ASEAN dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015.
  5. Untuk menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-olah mencerminkan bahwa pada masa lalu, suatu negara pernah mengalami inflasi yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.

                                              Perbedaan Redenominasi dan Sanering
  •  Nasionalisasi De Javasche Bank
 
    6 Desember 1951 Presiden Soekarno, menandatangani Undang-undang Nasionalisasi De Javasche Bank (DJB). UU ini dialasdasari oleh kebutuhan, betapa setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949, pemerintah merasa perlu untuk sesegera mungkin memulihkan perekonomian Indonesia. Perbaikan ekonomi, salah satunya, bisa dicapai dengan menasionalisasi DJB yang mengendalikan sirkulasi uang di Indonesia.
     Sebelum ditetapkannya undang-undang ini, pemerintah membuat Komisi Nasionalisasi DJB. Soemitro Djojohadikusumo menjadi salah satu perancang nasionalisasi DJB tersebut. Atas pertimbangan-pertimbangan yang diajukan komisi ini, pemerintah akhirnya menyetujui untuk menasionaliasasi DJB.
     Pada mulanya, DJB adalah bank sentral yang bersifat partikelir dan berada di bawah kekuasaan modal asing. Makanya, cukup aneh rasanya jika sebuah negara yang berdaulat, sirkulasi uangnya justru dikendalikan pihak asing. Untuk itulah pemerintah merasa perlu menasionalisasi DJB menjadi Bank Indonesia. Nasionalisasi DJB juga dimaksudkan untuk bisa membina bank-bank lain di Indonesia.
     Untuk itu, saham-saham DJB yang dimiliki Belanda dicabut dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Nasionalisasi DJB berlangsung dengan cara yang moderat.Pemerintah mengganti kerugian kepada para pemegang saham DJB sebesar 120% dari harga nominal saham dalam gulden. Kepada pemegang saham yang berkewarganegaraan Indonesia, pemerintah memberikan ganti rugi sebesar 360% dari harga nominal saham dengan rupiah.
    Menteri keuangan dalam Kabinet Sukiman, Jusuf Wibisono, diberi keleluasaan untuk mengambil tindakan yang dirasa perlu untuk melaksanakan Undang-undang tersebut. Sementara itu, Sjafruddin Prawiranegara, mantan Presiden PDRI, ditunjuk sebagai gubernur Bank Indonesia yang pertama. Dialah yang bertanggungjawab terhadap iklim moneter negara saat itu.
    Sejak saat itu, Bank Indonesia menjadi pelayan kepentingan umum sebagai bank sentral yang mengatur sirkulasi uang. Dengan demikian, kepentingan meraup laba dinomorduakan setelah fungsi dan tugas utama tersebut. Dari pertimbangan itu, pemerintah tak menyerahkan Bank Indonesia kepada pihak swasta.
    Nasionalisasi DJB sebenarnya tak semulus yang dibayangkan. Rangkaian polemik menyertai nasionalisasi DJB. Terjadi perbedaan pendapat antara Sjariffuddin Prawiranegara dengan Soemitro Djojohadikusumo. Menurut Soemitro, ketika Sjariffudin menjabat Gubernur Bank Indonesia, kebijakan yang diambil tak ubahnya ekonom Belanda. Bank Indonesia tak bisa menjalankan fungsinya sebagai pelayan kepentingan publik. Sedang Sjariffudin menilai Soemitro saat menjabat sebagai menteri Keuangan pada 1952 terlalu menekankan kebijakan ekonomi industri yang tak tepat dilakukan di awal Indonesia merdeka.
    Setelah dilansirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) padaa akhir 1945, nasionalisasi DJB adalah kebijakan moneter Indonesia yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia.
    Jika ORI dan penggunaan ORI oleh rakyat Indonesia daripada penggunaan Gulden bisa diletakkan sebagai penanda zaman yang mencerminkan semangat nasionalistik rakyat Indonesia, maka nasionalisasi DJB bisa dibaca sebagai kehendak untuk mulai membangun kemandirian di bidang moneter. Tanpa nasionalisasi DJB yang menjadi bank sentral yang sirkulasi uang, kemandirian moneter itu hampir bisa dipastikan akan lebih lama lagi ditempuh. 


Alasan dilakukan Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain

1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang  bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.

5. Pemerintah dapat membantu lapisan masyarakat bawah untuk mendapatkan pinjaman modal 
  • Pembentukan Biro Perancang Negara 
    Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara. Biro ini dibentuk dengan tugas merancang pembangunan jangka pendek. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar. RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
· Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun  1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
· Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
· Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakannya masing-masing.
     Perbandingan antara Repelita dan pembangunan pada masa kini adalah :
    Pada 1 April 1969, dimulailah pelaksanaan Pelita I (1969-1974). Tujuan diselenggarakan Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sedangkan sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik berat Pelita I adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. sedangkan Kabinet Kerja adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Susunan kabinet ini berasal dari kalangan profesional, usulan partai politik pengusung pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 (PDI Perjuangan, PKB, Partai NasDem, dan Partai Hanura) ditambah PPP, PAN, dan Partai Golkar yang bergabung setelahnya, serta tim sukses pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Susunan kabinet diumumkan oleh Presiden Jokowi pada 26 Oktober 2014 dan resmi dilantik sehari setelahnya. 10 prioritas nasional dari kabinet kerja tersebut meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, pengembangan dunia usaha dan pariwisata, ketahanan energi, ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, infrastruktur, konektivitas, dan kemaritiman, pembangunan wilayah, serta politik, hukum, pertahanan dan keamanan. Prioritas dari pembangunan kabinet kerja lebih banayk dan kompleks daripada Rencana Pembangunan Lima Tahun pada masa orde baru.
  • Sistem Ekonomi Ali-Baba 
 

    Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.
    Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
    Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
    Tujuan Dan Hambatan
    Tujuan dari program ini adalah:
  1. Untuk memajukan pengusaha pribumi.  
  2. Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.  
  3. Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.  
  4. Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
    Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
  1. Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional 
  2. Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing
    Sistem ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
     Memasuki zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah. Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk ini diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat produksi kedaerah konsumsi akibat pemberontakan diberbagai daerah.  Sementara itu, jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus mencetak uang tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin tinggi dan mencapai hingga 300%. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dengan pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan pemerintah tersebut ternyata tidak menambah perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
     Sistem Ali-Baba pada awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada para pengusaha agar bisa memajukan perekonomian indonesia waktu itu dengan cara pemberian dana segar pada pengusaha tersebut. sistem ini mengalami kegagalan karena:
  1. Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara sepihak. 
  2. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi 
  3. Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
    Alasan kegagalan sistem ekonomi Ali-Baba
  1. Ingin menyatukan pengusaha pribmi & tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi 
  2. Orang-orang pribumi yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit 
  3. Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing
  • Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 
 
    Rencana Pembangunan Lima Tahun merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan Biro Perancang Negara. Kebijakan ini direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 1956-1961. RPLT disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Pada tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munip). Pembiayaan RPLT diperkirakan mencapai Rp12,5 miliar.
    Tujuan Repelita adalah :
a. Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat.
b. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.
    
    Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
- Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974) 
    Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
• Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
• Sasaran Pelita I  :  Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
• Titik Berat Pelita I  :  Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.
     Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang. 
- Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979) 
    Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun. 
- Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) 
    Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.Inti dari kedua pedoman tersebut
- Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
     Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil- nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga. 
- Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994) 
    Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 
- Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999) 
Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Sumber :
http://ayesaalodia.blogspot.co.id/2011/03/kebijakan-pembangunan-pelita-i-pelita.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin
https://www.merdeka.com/uang/ini-10-prioritas-pembangunan-nasional-pemerintahan-jokowi-di-2018.html
http://jurnalrepublik.blogspot.co.id/2007/12/nasionalisasi-de-javasche-bank.html



KALAU INGIN COPAS BILANG DULU YA, SERTAI JUGA SUMBERNYA!!


Minggu, 01 Oktober 2017

Kondisi Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal


Pada masa demokrasi liberal Indonesia adalah  masa yang suram juga bagi rakyat Indonesia karena di masa ini yang berkuasa hanyalah kabinet-kabinet didalam pemerintahan. Kabinet-kabinet yang berkuasa itu tidak lama (sering pergantian kabinet), diakarenakan banyaknya partai.  Pergantian kabinet ini terjadi hampir tiap tahun karena didalam pemerintahan tidak ada kabinet yang bertahan lama. Maka ciri khas pada masa demokrasai liberal ini adalah seringya terjadi pergantian kabinet yang disebabkan banyaknya partai.
            Demokrasi liberal ini berlansung lebih kurang 9 tahun yaitu tahun 1950-1959. Sejak tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan yang berbentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu menggunakan UUDS 1950 sampai terbentuknya konstitusi yang tetap.
               Dalam UUDS 1950 ditetapkan bahwa sistem demokrasi yang digunakan adalah demokrasi liberal, sedangkan sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Dalam kabinet perlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh perdanan menteri, presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Adapun perdana menteri bersama dengan para menteri (kabinet) bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).Selama berlakunya UUDS 1950, pemerintah Republik Indonesia diwarnai dengan pergantian tujuh kabinet secara berturut-turut, yaitu sebagai berikut.
  1.     Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
  2.     Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
  3.     Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 2juni 1953)
  4.     Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
  5.     Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
  6.     Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
  7.     Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)
                 Keadaan politik Indonesia selama pelaksanaan demokrasi liberal sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 penuh dengan pertentangan antarpartai sehingga menimbulkan kekacauan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Berikut sedikit uraian mengenai keadaan negara Indonesia masa setiap kabinet yang pernah menjabat.
1.    Sosial budaya Indonesia pada masa  Kabinet Natsir
                Pada masa kabinet ini, yang paling ditonjolkan adalah pendidikan. Hal ini terdapat pada pemikiran Natsir terhadap Pendidikan di Indonesia. Natsir berpikir bahwa pendidikan di Indonesia sangat efetif bila didasarkan pada ajaran islam. Berikut adalah gagasan Natsir terhadap pendidikan dan pengaruhnya bagi Indonesia  dalam buku Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan tentang gagasan dan pemikiran pendidiksan Natsir ( 2005 : 81-94) sebagai berikut.
a.      Tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al - karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
 Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keenam, pendidikan harus benar- benar mendorong sifat - sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat -sifat kemanusiaan. Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total kepada Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada -Nya.
b.      Tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya.
Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi -nabi -Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib -karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terputus uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesama manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.
c.       Tentang dasar pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik -baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan -penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari -hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik -baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.
d.      Tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul - Ideologi Didikan Islam serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai dasar Pendidikan, dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.
e.       Tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat -sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah -langkah antara lain . 
1.      Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan     oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2.      Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3.      Negara -Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.
f.       Tentang keteladanan guru. Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi sayang jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.
2. Dampak positif dan negatif dari perjanjian MSA (Mutual Security Act) pada masa Kabinet Sukiman
                                                                 
Kabinet Sukiman adalah koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman bermunculan  berbagai gangguan keamanan, sepertiDI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh disebabkan kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA) yangi berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
Mutual Security Act (MSA) adalah program bantuan militer dan keuangan oleh Amerika Serikat pada awal Perang Dingin di tahun 1950an. MSA diluncurkan pada tahun 1951 dan berlangsung hingga tahun 1961. Bantuan ini diberikan ke banyak negara dan menggantikan program bantuan Marshall Plan yang diluncurkan di akhir Perang Dunia II.
 Tujuan utama MSA adalah membantu negara-negara berkembang yang terancam penyebaran komunisme, dan berbentuk bantuan militer, ekonomi, dan teknis kepada negara sekutu Amerika Serikat. Bantuan tersebut terutama ditujukan untuk mendukung negara-negara Eropa Barat saat Perang Dingin mulai memanas.
 Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mendapatkan bantuan MSA dari Amerika Serikat pada masa Kabinet Sukirman (27 April 1951 hingga 25 Februari 1952). Ini setelah Menteri Luar Negeri pada kabinet tersebut, Achmad Subarjo menandatangani perjanjian ini. Indonesia pun mendapatkan bantuan militer dana.
 Namun penandatanganan perjanjian ini ditentang berbagai kalangan di Indonesia dan akhirnya menyebabkan jatuhnya kabinet tersebut.
 Akibat dari penandatanganan ini, kabinet Sukirman yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sukiman Wiryosanjoyo, dianggap melanggar prinsis hubungan luar negeri “bebas aktif”, dan menjadikan Indonesia bersekutu dengan Amerika Serikat.
 Karena itu, Partai Masyumi, yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Natsir, menolak mendukung penandatanganan MSA ini. Akibatnya, Kabinet Sukirman kehilangan mandatnya. Pada 23 Februari 1952, Sukiman Wiryosanjoyo menyerahkan kembali mandatnya sebagai perdana menteri kepada presiden Sukarno, dan membubarkan kabinetnya. Kabinet Sukirman ini kemudian digantikan oleh kabinet Wilopo.
·         Dampak Positif perjanjian MSA
1.      Meningkatnya keamanan negara Indonesia
Dengan tertandatanganinya perjanjian ini, negara Indonesia mendapat bantuan militer dari AS untuk menjaga Indonesia dari segala ancaman terutama ancaman paham komunis. Hal ini sesuai dengan isi perjanjian tersebut dimana AS berusaha membendung paham komunis agar Teori Domino tidak terjadi. 
2.      Perekonomian negara Indonesia semakin maju
Tak hanya bantuan militer, Indonesia juga mendapat bantuan ekonomi dari Amerika untuk meningkatkan pembangunan dan mengatasi masalah perekonomian negara Indonesia, sesuai syarat yang ditawarkan oleh AS, yaitu “Sebagai imbalan negara peminjam diwajibkan : Berusaha menstabilkan keuangan masing-masing negara dan melaksanakan anggaran pendapatan yang berimbang. Mengurangi penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran perdagangan antara negara-negara peminjam. Mencegah terjadinya inflasi. Menempatkan perekonomian negara masing-masing negara atas dasar sendi-sendi perekonomian yang sehat. Memberikan bahan-bahan yang diperlukan Amerika Serikat untuk kepentingan pertahanan. Meningkatkan persenjataan masing-masing negara untuk kepentingan pertahanan.” 
3.      Terhadangnya paham komunis masuk ke Indonesia
Alasan utama mengapa AS mengadakan perjanjian ini adalah untuk menghadang komunisme agar tida terjadi teori domino. Teori domino adalah teori yang berspekulasi bahwa apabila sebuah negara di suatu kawasan terkena pengaruh komunisme, negara-negara sekitarnya akan ikut dipengaruhi komunisme lewat efek domino. Teori yang sering didengungkan pada tahun 1950-an sampai 1980-an ini digunakan oleh beberapa presiden Amerika Serikat semasa Perang Dingin sebagai alasan intervensi A.S. di seluruh dunia. Salah satu syarat agar mendapat bantuan AS adalah “Bantuan akan dihentikan apabila di negara peminjam terjadi pergantian kekuasaan yang mengakibatkan negara tersebut melaksanakan paham komunis.”
4.      Terjalinnya sebuah kerja sama antara Indonesia dengan AS
Dengan terjalinya kerja sama, hal ini akan membantu sesama negara apabila mengalami kesulitan dalam mengelola negara
·         Dampak negatif perjanjian MSA :
1.      Lengsernya kabinet Sukiman
Pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dan Duta Besar Amerika Merle Cochran menjadi penyebab lengsernya kabinet ini. Isi nota tersebut adalah bantuan ekonomi dan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau lebih dikenal dengan nama undang-undang kerja sama keamanan.
Hal tersebut dinilai menciderai konsep politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Kabinet Sukiman dituduh telah menjadikan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Hal itulah yang membuat DPR menggugat kebijakan kabinet tersebut dan akhirnya kabinet tersebut jatuh.
2.      Tidak maksimalnya pembangunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
Dengan lengsernya kabinet Sukiman, semua pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya tida terealisasikan, akibatnya pembangunan di Indonesia tidak maksimal. 


3.      Analisis Peristiwa Tanjung Morawa pada masa Kabinet Wilopo

                                                  
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi pada 16 Maret 1953 di daerah Tanjung Morawa (ssekarang bernama Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini merupakan konflik perebutan lahan seluas 255.000 Hektar yang merupakan perkebunan kelapa sawit, teh dan tembakau milik perusahaan Belanda bernama Deli Palnters Vereniging (DPV) yang dikerjakan oleh Pribumi dan keturunan Tionghoa ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Peristiwa Tanjung Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo pada era Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan Tanjung Morawa muncul ketika tanah yang sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa harus dikembalikan kepada DPV atas dasar Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan kemerdekaan, namun dengan syarat pengembalian lahan kepada investor asing tak terkecuali Belanda. Luas tanah DPV sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha. Tanah seluas 125.000 Ha adalah tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu 130.000 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953
4.      Mengapa terjadi koalisi PNI dengan NU dan Masyumi sebagai Oposisi pada Masa Kabinet  Ali Sastroamijoyo I ?
                                              


Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai akibat dari Peristiwa Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan demisioner. Kabinet Ali Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet Wilopo. Kabinet Ali mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali Sastroamidjojo dari PNI sempat ragu, karena selama ini belum pernah diajak bicara oleh partainya mengenai pembentukkan kabinet. Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum PNI, Sidik Joyosukarto, akhirnya Ali Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri dilangsungkan di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politii pada waktu revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang serius  pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
5. Kondisi Rakyat saat Pemilu Pertama pada Masa Kabinet Buhanuddin Harahap
                                                     
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955 mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November. Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a)  Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b)  Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus.
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa.  Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
6. Gerakan Assat (Anti-Tionghoa) pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang diprakarsai Mr. Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi". Mr. Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
7. Keterkaitan Deklarasi Djuanda dengan teritorial Indonesia dan Munculnya Pemberontakan PRRI Permesta pada Masa Kabinet Djuanda/Karya.
                                             
a.      Keterkaitan Deklarasi Djuanda dengan teritorial Indonesia
Secara geografis, negara Indonesia adalah negara kepualan dengan lautan yang sangat luas dan ribuan pulau besar dan kecil. Pada awal kemerdekaan, kekayaan alam di lautan belum dapat dikuasai secara penuh negara Indonesia. Waktu itu tidak semuanya merupakan laut territorial, melainkan sebagian merupakan laut bebas dan laut internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, yaitu:
1.   Kesatuan wilayah Indonesia tidak utuh
2.   Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia.
3.   Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia.
4.   Kekayaan alam yang terdapat di luar 3 mil tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh Indonesia
Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia.  Lalu lintas yang damai di perairan  pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja
Dasar pertimbangan pemerintah untuk menetapkan Deklarasi Djuanda adalah:
1.   Bentuk geografi Indonesia sebagai suaut negara kepualan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri, memerlukan pengaturan tersendiri pula
2.   Bagi keutuhan terirotial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia, semua kepulauan serta laut diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang sangat bulat.
3.   Penentuan batas lautan territorial seperti termaktub dalam Teritorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939, tidak sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan bagi wilayah daratan Indonesia
4.   Setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil langkah dan tindakan yang dipandang perlu guna melindungi keutuhan dan keselamatan negara.
Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah  air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan wawasan nusantara. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas  pulau terluar. Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2.
Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai  Archipelagic State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The  Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifkasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November    1994, setelah   diratifkasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional.  Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
b.      Munculnya Pemberontakan PRRI dan Permesta
Munculnya pemberopntakan prri dan permesta bermula dari adanya persoalan di dalam Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang kepala staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidak adilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan – dewan daerah sebagai alat pejuang tuntutan pada Desember 1056 dan Februari 1957, seperti :
a.    Dewan banteng di sumatera barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b.    Dewan gajah di sumatera utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c.    Dewan garuda di sumatera selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d.   Dewan manguni di sulawesi utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumuel.
Dewan – dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah diwilayahnya masing – masing. Beberapa tokoh sipil dari pusat pun mendukung meraka bahkan bergabung kedalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal.Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintah ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syarifuddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh – tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesra sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Djuanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu – ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam – diam ternyata didukung oleh Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat indonesia yang bisa saja dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan. Upaya Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI dan Permesta adalah :
1.      Dalam mengatasi dewan banteng pemerintah mengirimkan komisi penyelidiki keadaan untuk mengetahui lebih dalam tentang tujuan - tujuan. Akan tetapi penyelidikan ini tidak berhasil karena A. Husein tidak mau berbicara kecuali dengan delegasi resmi pemerintah pusat.
2.      Dalam menanggapi adanya ultimatum kabinet juanda memberikan  tanggapan dengan tindakan tegas yaitu memeacat A. Husein, simbolon, zulkifli lubis. Yang kemudian disusul dengan gerakan  KSAD Nasution pada tanggal 12 februari 1958 dengan  membekukan daerah  komando sumatra tengah.
3.      Dengan diproklamirkan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958. Maka KSAD memutuskan adanya operasi meliter yaitu operasi 17 agustus operasi gabungan  AD, AL dan AU yang dipimpin oleh A. Yani..
4.      Dalam menghadapi Permesta pemerintah melakukan pemecatan terhadap Somba dan mayor Runturambi dan dilanjutkan dengan Insaf yang dipimpin oleh letkol jonosewojo. Yang kemudian untuk menangani pengeboman manado, gororontalo, jailolo, dan morotai oleh AUREV operasi Merdeka yang terdiri dari operasi Saptamarga dan operasi Mena. Dengan penguasaan terhadap kota - kota basis PRRI dan Permesta. Hingga pada tahun 1961 perlawanan bereakhir dengan menyerahnya pimpinan PRRI dan Permesta.
Demikianlah penjelasan mengenai Kondisi Politik Indonesia masa demokrasi liberal. Menurut saya, demokrasi liberal apabila diterapkan di Indonesia sama sekali tidak cocok. Mengapa? Karena hal itu justru menimbulkan berbagai masalah, mulai dari tidak maksimalnya pembangunan bahkan sampai pemberontakan serta tidak searah dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila. Dengan adanya sejarah, kita bisa belajar dari masa lalu untuk bisa membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi. Jangan sampai terjun ke lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Semoga bermanfaat dan terimakasih sudah berkunjung ke blog saya ya!

Daftar Pustaka
 http://anitaramdhani.blogspot.co.id/2011/09/muhammad-natsir-dalam-sejarah-pemikiran.html
www.donisetyawan.com/bantuan-ekonomi-pada-perang-dingin/
http://www.idsejarah.net/2017/09/peristiwa-tanjung-morawa.html
http://mnabilkarim1.blogspot.co.id/2016/02/masyumi-dalam-persimpangan-politik-1945.html
http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html
http://www.mikirbae.com/2016/04/pemikiran-ekonomi-nasional.html
http://www.donisetyawan.com/deklarasi-djuanda/
https://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda
http://kang-op.blogspot.co.id/2017/07/tugas-sejarah-indonesia-makalah-singkat.html